Digenggamnya jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
Lembayung di langit sore itu terlihat muram. Awan
yang berarak suram berkejaran di atas sana. Tampak sesosok tubuh pemuda duduk terpaku di depan gundukan tanah warna merah. Wajahnya tampak mendung. Tangannya lembut menaburkan bunga di atas pekuburan itu, kemudian
menyiramnya dengan air bening.
“Semoga engkau tenang di alam sana.” Lirih
suaranya. Nafasnya terdengar berat, sepertinya sesal yang menghimpitnya begitu erat. Sorot matanya menerawang jauh ke angkasa. Gadis tertunduk. Malu. Wajahnya merona. Beberapa detik lalu pemuda pujaannya membisikkan sesuatu yang membuat hatinya melayang.
“Kau cantik sekali hari ini.”
“Ah, benarkah aku cantik? Tapi mengapa dia lebih memilih gadis lain?” Gadis itu terlihat muram.
Namun hal itu tetap tidak mengurangi keanggunannya. Matanya yang sendu, kulit putihnya yang bersih, hidung bangirnya, bibirnya yang merekah, serta rambutnya yang hitam berkilau, mampu membuat tiap mata yang memandang enggan berpaling.
Gadis melangkah pergi. Kaki kecilnya menuju pada
satu ruang perkuliahan. Hari ini tak ada kuliah. Gadis hanya sendiri di sana. Dia duduk pada salah satu bangku di ruangan itu. Jemari lentiknya lincah memainkan pena di atas kertas.
Tempatkan aku di hatimu
Satu sudut saja dari empat bilik jantungmu
Lalu gamit aku di jiwamu
Dengan penuh kasih selalu
Tempatkan aku di ingatanmu
Satu sel saja dari ribuan sarafmu
Kan kuwarnai harimu
Dengan wangi madu
Duhai tambatan hati . . .
Akankah kau mau mengerti
Suara kalbu yang terus menggema
Sampai sukma ini lepas dari raga
Dibukanya lagi lembar demi lembar buku diary itu. Di sana sudah tertulis ratusan bait puisi yang senada.
Kristal bening dari pelupuk matanya pecah dan
butiran-butiran itu jatuh ke bumi. Pemuda dambaannya datang.
“Kau kenapa?” tanya si pemuda cemas.
“Aku... aku... tidak apa-apa,” jawab gadis itu
gugup.
“Apa kau sakit? Wajahmu pucat,”
Gadis hanya menggeleng.
“Da, kita jadi pergi tidak?”
suara nyaring dari arah pintu itu sedikit membakar api cemburu dalam dada si gadis. Diperhatikannya pemilik suara itu dengan teliti. Rambutnya lurus terurai, matanya begitu bening, dan tubuhnya sangat indah.
“Sorry, Dis, aku pergi dulu ya....”
Pemuda dambaannya melangkah keluar bersama wanita yang baru saja menghampirinya, bunyi dua pasang sepatu itu terdengar buru-buru.
“Tadi siapamu?”
“Kakak ini apa-apaan sich” jawab si pemuda sedikit malu, tapi sang kakak berhasil menangkap kilau pelangi pada bola mata pemuda itu.
“Kamu itu cowok. Tapi sama cewek nyalinya ciut. Udah, ngaku aja... mbok ya kalau suka, ngomong. Kalau menurut Kakak sich dia cocok buat kamu.”
“Tapi, Kak, dia begitu anggun. Cewek seperti itu
pasti sudah punya pacar.”
“Sudah pernah nanya belum? Atau ngeliat dia jalan bareng cowok misalnya?”
Si pemuda menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Kamu itu cowok yang qualified untuk dijadikan
pacar. Tampan, pintar, kaya, baik hati lagi. Masih ngerasa kurang apa lagi sich?”
“Aku masih kurang berani, Kak....” Tapi suara itu hanya terucap di hati. Si pemuda tampak rapi hari ini. Celana panjang warna krem
serta kemeja biru magenta membalut tubuh atletisnya.
Wangi parfum maskulin tercium di sekitarnya.
Di kampus biru, seseorang yang dicarinya tak ada. Padahal pemuda itu ingin mengungkapkan segala isi hatinya. Dicarinya gadis tersebut ke kos-kosan.
Tok... tok... tok....
Tak ada jawaban. Sunyi. “Gadis, di mana kau?”
Diketuk lagi pintu itu. Tapi tetap saja hening.
Wanita setengah baya keluar dari rumah sebelah.
“Nyari siapa, Mas?”
“Itu, Bu, gadis yang tinggal di sini.”
“Oh, tadi pagi dia dibawa ke rumah sakit.”
Rumah sakit! Wajah pemuda itu berubah pias. “Gadis, kau
kenapa? Sejak minggu lalu kau terlihat pucat tapi aku tidak berbuat apa-apa. Maafkan aku, Dis....”
“Di rumah sakit mana Gadis dirawat, Bu?”
Setelah mendapat informasi dari wanita itu, si pemuda buru-buru membawa motornya membelah jalan menuju rumah sakit tempat gadis berada.
Di bangsal flamboyan itu tubuh Gadis terbaring lemah.
Wajahnya sewarna kapas. Selang infus menempel pada lengan kirinya. Sedang tangan kanannya menggenggam sebuah buku.
Pemuda itu mendekati si gadis. Digenggamnya
jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Dis, bangun! Ini aku....”
Tapi tubuh yang dipanggilnya itu diam. Mungkin gadis tertidur. Dipanggil lagi nama itu lembut. Tetap tak ada reaksi. Ketakutan dan kecemasan kini bercampur menjadi satu, keringat dingin meleleh di badan, jantung pemuda itu berdegup amat kencang.
“Dok... Dokter...!!!” teriak si pemuda.
Dokter pun datang. Diperiksanya tubuh si gadis dengan beberapa alat medis.
Dan beberapa menit kemudian....
“Bagaimana, Dok?”
Dokter itu menggeleng, kemudian berucap, “Kami hanya berusaha. Tabahkan hatimu, Nak!”
Seperti ada petir yang menyambar. Hati pemuda itu teriris, kosong, dan terpukul. Matanya kini terasa panas. Tapi sekuat tenaga dibendungnya agar telaga – bening itu tidak tumpah.
.
Lembayung di langit sore itu terlihat muram. Awan
yang berarak suram berkejaran di atas sana. Tampak sesosok tubuh pemuda duduk terpaku di depan gundukan tanah warna merah. Wajahnya tampak mendung. Tangannya lembut menaburkan bunga di atas pekuburan itu, kemudian
menyiramnya dengan air bening.
“Semoga engkau tenang di alam sana.” Lirih
suaranya. Nafasnya terdengar berat, sepertinya sesal yang menghimpitnya begitu erat. Sorot matanya menerawang jauh ke angkasa. Gadis tertunduk. Malu. Wajahnya merona. Beberapa detik lalu pemuda pujaannya membisikkan sesuatu yang membuat hatinya melayang.
“Kau cantik sekali hari ini.”
“Ah, benarkah aku cantik? Tapi mengapa dia lebih memilih gadis lain?” Gadis itu terlihat muram.
Namun hal itu tetap tidak mengurangi keanggunannya. Matanya yang sendu, kulit putihnya yang bersih, hidung bangirnya, bibirnya yang merekah, serta rambutnya yang hitam berkilau, mampu membuat tiap mata yang memandang enggan berpaling.
Gadis melangkah pergi. Kaki kecilnya menuju pada
satu ruang perkuliahan. Hari ini tak ada kuliah. Gadis hanya sendiri di sana. Dia duduk pada salah satu bangku di ruangan itu. Jemari lentiknya lincah memainkan pena di atas kertas.
Tempatkan aku di hatimu
Satu sudut saja dari empat bilik jantungmu
Lalu gamit aku di jiwamu
Dengan penuh kasih selalu
Tempatkan aku di ingatanmu
Satu sel saja dari ribuan sarafmu
Kan kuwarnai harimu
Dengan wangi madu
Duhai tambatan hati . . .
Akankah kau mau mengerti
Suara kalbu yang terus menggema
Sampai sukma ini lepas dari raga
Dibukanya lagi lembar demi lembar buku diary itu. Di sana sudah tertulis ratusan bait puisi yang senada.
Kristal bening dari pelupuk matanya pecah dan
butiran-butiran itu jatuh ke bumi. Pemuda dambaannya datang.
“Kau kenapa?” tanya si pemuda cemas.
“Aku... aku... tidak apa-apa,” jawab gadis itu
gugup.
“Apa kau sakit? Wajahmu pucat,”
Gadis hanya menggeleng.
“Da, kita jadi pergi tidak?”
suara nyaring dari arah pintu itu sedikit membakar api cemburu dalam dada si gadis. Diperhatikannya pemilik suara itu dengan teliti. Rambutnya lurus terurai, matanya begitu bening, dan tubuhnya sangat indah.
“Sorry, Dis, aku pergi dulu ya....”
Pemuda dambaannya melangkah keluar bersama wanita yang baru saja menghampirinya, bunyi dua pasang sepatu itu terdengar buru-buru.
“Tadi siapamu?”
“Kakak ini apa-apaan sich” jawab si pemuda sedikit malu, tapi sang kakak berhasil menangkap kilau pelangi pada bola mata pemuda itu.
“Kamu itu cowok. Tapi sama cewek nyalinya ciut. Udah, ngaku aja... mbok ya kalau suka, ngomong. Kalau menurut Kakak sich dia cocok buat kamu.”
“Tapi, Kak, dia begitu anggun. Cewek seperti itu
pasti sudah punya pacar.”
“Sudah pernah nanya belum? Atau ngeliat dia jalan bareng cowok misalnya?”
Si pemuda menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Kamu itu cowok yang qualified untuk dijadikan
pacar. Tampan, pintar, kaya, baik hati lagi. Masih ngerasa kurang apa lagi sich?”
“Aku masih kurang berani, Kak....” Tapi suara itu hanya terucap di hati. Si pemuda tampak rapi hari ini. Celana panjang warna krem
serta kemeja biru magenta membalut tubuh atletisnya.
Wangi parfum maskulin tercium di sekitarnya.
Di kampus biru, seseorang yang dicarinya tak ada. Padahal pemuda itu ingin mengungkapkan segala isi hatinya. Dicarinya gadis tersebut ke kos-kosan.
Tok... tok... tok....
Tak ada jawaban. Sunyi. “Gadis, di mana kau?”
Diketuk lagi pintu itu. Tapi tetap saja hening.
Wanita setengah baya keluar dari rumah sebelah.
“Nyari siapa, Mas?”
“Itu, Bu, gadis yang tinggal di sini.”
“Oh, tadi pagi dia dibawa ke rumah sakit.”
Rumah sakit! Wajah pemuda itu berubah pias. “Gadis, kau
kenapa? Sejak minggu lalu kau terlihat pucat tapi aku tidak berbuat apa-apa. Maafkan aku, Dis....”
“Di rumah sakit mana Gadis dirawat, Bu?”
Setelah mendapat informasi dari wanita itu, si pemuda buru-buru membawa motornya membelah jalan menuju rumah sakit tempat gadis berada.
Di bangsal flamboyan itu tubuh Gadis terbaring lemah.
Wajahnya sewarna kapas. Selang infus menempel pada lengan kirinya. Sedang tangan kanannya menggenggam sebuah buku.
Pemuda itu mendekati si gadis. Digenggamnya
jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Dis, bangun! Ini aku....”
Tapi tubuh yang dipanggilnya itu diam. Mungkin gadis tertidur. Dipanggil lagi nama itu lembut. Tetap tak ada reaksi. Ketakutan dan kecemasan kini bercampur menjadi satu, keringat dingin meleleh di badan, jantung pemuda itu berdegup amat kencang.
“Dok... Dokter...!!!” teriak si pemuda.
Dokter pun datang. Diperiksanya tubuh si gadis dengan beberapa alat medis.
Dan beberapa menit kemudian....
“Bagaimana, Dok?”
Dokter itu menggeleng, kemudian berucap, “Kami hanya berusaha. Tabahkan hatimu, Nak!”
Seperti ada petir yang menyambar. Hati pemuda itu teriris, kosong, dan terpukul. Matanya kini terasa panas. Tapi sekuat tenaga dibendungnya agar telaga – bening itu tidak tumpah.
.
0 comments:
Post a Comment
Indahnya Berbagi :